Akhirnya James keluar rumah dengan menggunakan motor milik Sang Bibi untuk mencari Rose.
“James mau ke mana?” Bahkan seruan kencang tidak membuat James menoleh kepada Bibinya yang memanggil.
Setelah dua jam mengelilingi kompleks perumahan. James tetap tidak menemukan keberadaan adiknya. Ia lalu menghentikan motornya untuk sejenak berpikir di manakah Rose saat ini. Setelah beberapa saat, James kembali menaiki motornya dan melaju kencang ke suatu tempat.
James memasuki sebuah tempat dengan gapura suram sebagai pintu masuknya. Dia terus berjalan menyusuri beberapa pusara hingga terdengar suara isak tangis yang ia kenal.
Suara isak tangis itu semakin jelas seirama dengan langkah James yang mendekat.
“Ibu…kenapa meninggalkan Rose?” Isak seorang perempuan bersimpuh di atas sebuah pusara.
“Ke…kenapa bu? Apakah karena salah Rose?” Isak Rose semakin kencang tanpa menyadari sepasang telinga lain yang mendengar tangisannya.
“Apa benar kata kak James, bu? Apa benar Ibu meninggal karena kesalahan Rose?”
“Bangunlah bu… Biar Rose saja yang menggantikan Ibu. Kasihan Kak James yang sedih kehilangan Ibu”
“Rose merasa tidak hanya kehilangan Ibu, tapi juga kehilangan Kak James yang seperti dulu” Rose mengadu dalam isak tangisnya. Berharap Sang Ibu dapat mendengarnya dari alam sana.
James yang mendengar pengakuan adiknya merasa terpukul. Bukankah selama ini adiknya juga merasa kehilangan. Bukankah selama ini adiknya juga merasakan luka di hatinya seperti yang Ia rasakan?
Lalu, mengapa James selama ini merasa hidupnya yang paling sengsara. Bukankah adiknya juga mengalami hal yang sama? Mengapa dirinya sebagai keluarga terakhir Rose malah sibuk menyalahkan takdirnya? Yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan Rose.
Air mata penyesalan James mengalir di pipinya. Perlahan ia mendekati lalu mendekap Rose dari belakang.
Rose merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan.
“Ma…maafin Rose kak. Karena Rose Ibu meninggal. Karena Rose kakak kehilangan Ibu” Serak Rose dalam isak tangisnya.
“Maaf kak. Maafin Rose kak” Lirih Rose mengulang kalimat yang sama.
Mendengar itu James semakin mendekap erat tubuh adiknya.
“Ini bukan salahmu Rose. Ini salah kakak. Semua yang kita alami adalah takdir terbaik dari Tuhan yang di tulis untuk kita!” Lembut James membisikkan kalimat tersebut ke telinga Rose untuk menenangkan adiknya yang masih terisak dalam pelukannya.
“kita belajar ikhlas bareng ya. Kakak janji bakal berubah lebih baik buat kamu” Sambung James menggurat janji ucapannya di dalam hati.
“James….” Panggil suara lembut Bibi Nayla yang sudah berada di belakangnya.
“Pulang yuk….” Ajak Bibi Nayla sambil mengguncang lembut bahu James. Menyadarkan James pada kehampaan dua pusara di depannya dengan nisan bernama Rose dan Ibunya.
Hari di mana Rose sembuh dari penyakitnya adalah halusinasi James setelah kehilangan dua sosok yang paling dirinya cintai.